
- Like
- Digg
- Del
- Tumblr
- VKontakte
- Buffer
- Love This
- Odnoklassniki
- Meneame
- Blogger
- Amazon
- Yahoo Mail
- Gmail
- AOL
- Newsvine
- HackerNews
- Evernote
- MySpace
- Mail.ru
- Viadeo
- Line
- Comments
- Yummly
- SMS
- Viber
- Telegram
- Subscribe
- Skype
- Facebook Messenger
- Kakao
- LiveJournal
- Yammer
- Edgar
- Fintel
- Mix
- Instapaper
- Copy Link
Melihat perkembangan teknologi digital yang masif, pelayanan pengalaman konsumen menjadi diferensiasi yang unik dan penting dalam setiap pemilik bisnis. Seiring dengan peningkatan interaksi multikanal, konsumen semakin menitikberatkan pada kepuasan konsumen yang dapat diakses secara mudah melalui berbagai kanal.
Untuk memenuhi ekspektasi konsumen yang terus berkembang, strategi perusahaan untuk meningkatkan kepuasan konsumen dalam ranah digital adalah dengan mengimplementasikan dan mengintegrasikan dengan kecerdasan buatan (AI). Dengan memanfaatkan kekuatan AI, perusahaan dapat menganalisis data konsumen untuk mendapatkan infomasi mengenai preferensi, perilaku, dan kebutuhan individual, sehingga dapat menawarkan solusi yang relevan.
Algoritma dalam machine learning memungkinkan perusahaan untuk menyediakan ide produk dan promosi yang ditargetkan kepada konsumen melalui berbagai kanal, termasuk di antaranya situs jaringan, aplikasi seluler, platform media sosial, dan toko online.
Chatbot dan asisten virtual berbasis AI memainkan peran penting dengan memanfaatkan pemrosesan bahasa alami dan teknik machine learning untuk memahami dengan akurat dan segera merespons pertanyaan pelanggan secara real-time.
Chatbot juga dapat meningkatkan layanan konsumen secara efisien secara tanggap dan akurat. Teknologi tersebut dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan basic, memberikan informasi produk, memproses transaksi, dan bahkan mengatasi permasalahan konsumen. Dengan demikian, perusahaan dapat menciptakan kepuasan pelanggan yang baik dan efektif.
Lebih jauh lagi, teknologi kecerdasan buatan menyediakan analisis yang memungkinkan perusahaan untuk mengetahui dan membaca minat dan pola konsumen terkait tingkat kepuasan mereka terhadap berbagai platform digital.
Perusahaan juga dapat memperoleh informasi penting terkait emosi konsumen dengan menganalisis data konsumen yang terkumpul, ulasan dan interaksi media sosial, serta menyesuaikan strategi mereka sesuai dengan hasil analisis tersebut. Hal ini membantu dalam mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki, merespons masalah pelanggan, dan secara proaktif meningkatkan keseluruhan pengalaman pelanggan.
Dalam tingkatan ini, personalisasi memberikan pengalaman konsumen yang lebih menarik dan relevan, sehingga dapat meningkatkan kepuasan dan loyalitas konsumen.
OpenGov Breakfast Insight yang diselenggarakan pada tanggal 7 Juni 2023 di The Westin Jakarta, Indonesia, berfokus untuk memberikan pengalaman pelanggan yang cepat, akurat, dan relevan guna mendorong loyalitas melalui kecerdasan AI dan machine learning yang canggih.
Pengantar Awal

Belakangan ini, pertumbuhan teknologi berkembang begitu pesat. Terlebih, penggunaan AI yang memiliki peran begitu penting dalam meningkatkan produktivitas bisnis. Data menunjukkan bahwa pandemi membuat 17,5% konsumen di Indonesia yang sebelumnya berbelanja secara offline mulai mencoba berbelanja secara online. Terdapat berbagai saluran penjualan yang digunakan oleh konsumen untuk berbelanja online, termasuk marketplace, media sosial, dan website. Persentase konsumen yang memilih untuk berbelanja secara eksklusif online meningkat dari 11% sebelum pandemi menjadi 25,5% pada awal 2021. Menariknya, 74,5% konsumen tetap memilih untuk berbelanja online daripada offline.
Dengan demikian, Mohit Sagar, CEO & Pimpinan Redaksi, OpenGov Asia menjelaskan bahwa para pebisnis harus mampu mengolaborasikan bisnis dengan kecerdasan buatan yang semakin berkembang di era saat ini. “Memanfaatkan teknologi dan kemajuan AI berarti mentransformasikan cara-cara konvensional untuk menjadi lebih efisien baik bagi pengguna maupun bisnis,” ucapnya.
Mohit menyatakan, bahwa peningkatan multikanal bagi pelaku bisnis adalah strategi yang penting dilakukan guna meningkatkan kepuasan konsumen. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa pelaku bisnis dapat meningkatkan multikanal kepuasan konsumen melalui 5 poin.
Poin pertama adalah personalisasi berbasis data AI. Jika sebuah bisnis dapat menyediakan pengalaman personalisasi, seperti kemudahan mengakses informasi layanan melalui online maupun offline, maka secara tidak langsung, hal tersebut dapat membuat konsumen merasa terlayani dengan baik.
Poin kedua adalah data konsumen. Memiliki data konsumen adalah penting bagi pelaku bisnis. Dengan memiliki data konsumen yang terintegrasi, pelaku bisnis akan mengetahui kebiasaan dan pola perilaku konsumennya, sehingga hal ini akan dapat memudahkan pelaku bisnis untuk mengambil keputusan-keputusan yang relevan dengan target konsumen ke depannya.
Poin ketiga adalah bahwa pelaku bisnis harus menyediakan layanan personal customer service, di mana konsumen tidak perlu menunggu untuk mendapatakan informasi terkait bisnis. Pelaku bisnis bisa mengupayakan dengan meningkatkan chatbots atau vitual assistant yang dapat diintegrasikan langsung melalui kecerdasan buatan.
Poin keempat adalah pendapatan. Melalui analisis kebiasaan dan pola konsumen, bisnis bisa membuat keputusan-keputusan yang relevan menyesuaikan minat konsumen. Dengan demikian, bisnis dapat berinovasi untuk menciptakan berbagai revenue stream untuk meningkatkan pertumbuhan pendapatan.
Poin kelima adalah berinvestasi pada teknologi kecerdasan buatan. Dalam dunia teknologi digital seperti sekarang ini, sebuah bisnis akan kalah dari para kompetitornya jika tidak mengaplikasikan kecerdasan buatan untuk meningkatkan produktivitas. Agar menjadi bisnis yang inovatif dan berbasis pada “consumer-oriented“, sebuah bisnis akan melejit jika dapat memanfaatkan AI dengan maksimal.
Mohit menambahkan, pengimplementasian multikanal di era digital saat ini tidak hanya mampu meningkatkan kepuasan konsumen yang dapat menghasilkan loyalitas, namun pelaku bisnis juga dapat mengurangi biaya dan mendorong pertumbuhan pendapatan.
Akan tetapi, walau penggunaan multikanal yang berbasis kecerdasan buatan memiliki banyak manfaat dan kelebihan untuk meningkatkan produktivitas bisnis, perlu diketahui pula bahwa terdapat tantangan dalam pengimplementasiannya.
Tantangan tersebut di antaranya ketika sebuah bisnis maupun perusahaan harus memastikan bahwa mereka telah mengumpulkan dan menggunakan data konsumen dengan bijak. Tidak jarang ditemukan beberapa pelaku bisnis yang tidak bijak dalam menjaga data konsumen pribadi, alhasil, hal ini tentu merugikan konsumen dan integritas perusahaan itu sendiri.
Kebocoran data misalnya dapat menimbulkan kekhawatiran dari pihak konsumen, terutama terkait informasi kesehatan atau keuangan. Melihat tantangan tersebut, perusahaan harus dapat lebih proaktif dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Selanjutnya, perusahaan juga harus dapat memulai untuk menginvestasikan pendapatan mereka kepada teknologi tenaga kerja berbakat yang dapat mengimplementasikan strategi secara efisien dan efektif. Akan tetapi, perusahaan, khususnya perusahaan rintisan, mungkin akan sangat pasti menghadapi kesulitan untuk mendapatkan balik modal (ROI) dalam rentan waktu yang pendek.
Lebih jauh, perlu adanya pemahaman mendalam tentang kebutuhan dan perilaku pelanggan sebelum mengimplementasikan kepuasan konsumen berbasis AI yang efektif. Perusahaan harus berinvestasi dalam riset dan analisis konsumen agar pengimplementasian mendapatkan hasil yang maksimal.
“Penting untuk mengatasi tantangan-tantangan ini saat menerapkan personalisasi berbasis AI dan kepuasan digital untuk memastikan pengimplementasian yang sukses dan menghindari permasalahan potensial yang umum terjadi,” ucap Mohit.
Sesi Sambutan

Nathan Guy, Kepala UCaaS, Asia Pacific, Zoom, dalam sambutannya menjelaskan bahwa selama pandemi COVID-19, banyak perusahahaan di seluruh dunia yang menghabiskan uang untuk teknologi guna meningkatkan ketahanan bisnis. Hal ini dilakukan perusahaan untuk tetap konsisten dalam menyediakan pelayanan konsumen yang profesional dan optimal. Akan tetapi, untuk mencapai hal tersebut, terdapat tantangan-tantangan yang harus dihadapi seperti ketidakpastian ekonomi yang berlangsung serta perubahan teknologi yang begitu cepat.
“Kemudian, muncul sebuah pertanyaan terkait kemungkinan dari tempat kerja yang dapat membawa perbaikan yang positif bagi tim dan konsumennya di masa depan. Di Zoom sendiri, kami percaya bahwa transformasi positif tersebut akan terjadi,” ucap Nathan dalam sambutannya. Ia juga menambahkan bahwa ada tiga tantangan kunci dalam menghadapi perubahan ini.
Pertama, kerangka kerjasama dan produktivitas merupakan hal yang penting untuk menjaga keseimbangan dalam dinamika perubahan dunia kerja. Melalui kerjasama dan kolaborasi yang baik, nilai yang lebih maksimal dengan waktu yang lebih efisien dapat dihasilkan ke depannya.
Kedua, membangun hubungan personal yang baik di lingkungan kerja. Hal ini dapat membantu menciptakan lingkungan yang positif bagi seluruh rekan yang terlibat.
Ketiga, dapat memenuhi ekspektasi yang baik dari konsumen maupun karyawan sangat penting untuk keberhasilan sebuah perusahaan. Dengan memenuhi ekspektasi yang diharapkan akan tercipta konsumen dan karyawan yang memiliki integritas baik, suportif, dan loyal.
“Sebuah laporan menyoroti bahwa perusahaan-perusahaan menginvestasikan keuangan yang cukup signifikan dalam teknologi selama pandemi, yaitu sebesar S$15 miliar per minggu. Hal ini menunjukkan kesadaran bagi para pelaku bisnis dalam membangun pondasi yang kuat dalam perubahan teknologi guna mendapatkan keunggulan kompetitif di masa depan.”
Lebih lanjut, Nathan menegaskan bahwa kebutuhan masa depan untuk mengimplementasikan tempat kerja hybrid juga akan bertambah, seperti infrastruktur teknologi, fleksibilitas, komunikasi dan kolaborasi, kesejahteraan emosional, serta pelatihan dan pengembangan.
Ia juga menyebutkan bahwa voice dianggap sebagai dasar dari transformasi digital, berfungsi sebagai penghubung antara dunia luar dan dalam ruangan. “Di dunia yang semakin terhubung, keterlibatan voice harus menjadi inti daripada peripheral atau perangkat keras. Hal ini dikarenakan IP Voice menghemat biaya pengeluaran dan menghasilkan komunikasi yang terjangkau,” jelasnya.
Perusahaan melaporkan peningkatan keterlibatan, peningkatan produktivitas, dan peningkatan kolaborasi melalui aplikasi layanan konsumen terbarukan. Voice tetap menjadi hal yang krusial untuk pekerjaan masa depan, baik dalam hal keterlibatan pelanggan maupun karyawan. Oleh karenanya, bisnis harus terus berinvestasi dalam pasar yang berkembang ini.
Menurut Nathan, infrastruktur kolaborasi konvensial dapat digantikan oleh komunikasi cloud untuk memenuhi kebutuhan kerja hybrid dan jarak jauh. Integrasi berbagai fitur kolaborasi, termasuk pesan, pertemuan, konferensi, diskusi, dan berbagi konten, menjadi hal yang penting untuk menjadi aspirasi digital perusahaan.
Platform kolaborasi dibangun dengan teknologi yang menawarkan solusi komunikasi dan kolaborasi yang disesuaikan untuk berbagai industri dan departemen. Zoom telah berinvestasi secara signifikan dalam AI untuk meningkatkan pengalaman kolaborasi. Hal ini menjadikan perusahaan mampu meningkatkan pelayanan pelanggan dan membantu mereka berkembang di era kerja yang baru.
Tim yang berhubungan langsung dengan pelanggan akan menghadapi berbagai tantangan yang perlu diatasi. Memberdayakan seseorang yang ahli dalam bidangnya dapat meningkatkan nilai perusahaan dalam segi pelayanan personal kepada konsumen. Nathan menegaskan kembali bahwa dengan pengimplementasian pemberdayaan kolaborasi yang baik dengan karyawan dapat mendorong pertumbuhan bisnis lebih pesat.
Kolaborasi yang dimaksud mencakup membuat jadwal kalender, mengobrol santai, dan mengirim email sapaan di pagi hari, kolaborasi pertemuan, kolaborasi santai melalui rapat singkat, dan panggilan telepon. Demikian pula, kolaborasi dengan konsumen mencakup perihal pemasaran, webinar, proses penjualan, dan pengalaman konsumen secara keseluruhan yang dapat diakses dengan mudah.
“Kehilangan persentase signifikan konsumen akibat pengalaman buruk dapat sangat merugikan pendapatan sebuah bisnis,” Nathan menyimpulkan. Hal ini menyoroti tantangan dalam memenuhi kebutuhan pelanggan di lingkungan yang tidak pasti sambil menghadapi keterbatasan sumber daya.
Studi menunjukkan bahwa ekspektasi pelanggan telah meningkat dari tahun ke tahun, sehingga penting bagi perusahaan untuk bergerak cepat dan unggul dalam peningkatan pengalaman konsumen.
Nathan juga menekankan bahwa terdapat enam pilar untuk memenuhi keunggulan pelayanan konsumen, di antaranya:
Pertama adalah personalisasi. Menyediakan pengalaman yang disesuaikan dengan preferensi dan kebutuhan individu konsumen dapat memberikan pelayanan yang tertarget dan benar-benar dapat memecahkan masalah konsumen.
Kedua adalah kepercayaan. Membangun kepercayaan dengan pelanggan melalui transparansi dapat menjadi kunci untuk menjalin hubungan jangka panjang dengan pelanggan.
Ketiga adalah meminimalkan upaya konsumen. Menciptakan pengalaman konsumen untuk menyediakan kemudahan akses untuk menjangkau perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan itu sendiri.
Keempat adalah pemenuhan ekspektasi. Menghadirkan pelayanan yang memenuhi atau bahkan melebihi harapan pelanggan dapat memberikan kepuasan tersendiri bagi mereka.
Kelima adalah penyelesaian masalah. Kemampuan untuk secara efektif mengatasi masalah atau tantangan yang dihadapi oleh pelanggan. Penyelesaian masalah yang cepat, efisien, dan memuaskan merupakan kunci keunggulan pelayanan konsumen.
Pilar keenam adalah empati. Memahami dan merespons perasaan, kebutuhan, dan kekhawatiran pelanggan dengan kepekaan dan empati dalam setiap permasalahannya dapat memberikan kesan personal yang membuat konsumen loyal dan percaya terhadap perusahaan.

Jayraj Nair, Kepala Pengalaman Konsumen – ASEAN di Zoom, menekankan bahwa mendefinisikan kembali dan mengubah pelayanan konsumen dan pelayanan tim merupakan hal yang penting untuk mengatasi tantangan dari tim yang tidak terintegrasi dengan baik.
Perusahaan yang menyediakan pengalaman secara totalitas dengan menghubungkan karyawan dan konsumen, diproyeksikan akan melampaui pesaingnya dalam tingkat metrik kepuasan yang baik pada tahun 2024.
Untuk memberikan pengalaman konsumen yang positif secara konsisten, penting bagi perusahaan untuk mengkolaborasikan produktivitas karyawan dan strategi pelayanan konsumen. Produktivitas karyawan merujuk pada efektivitas dan efisiensi. Ketika karyawan produktif, mereka dapat memberikan layanan dan dukungan superior kepada konsumen dalam memenuhi kebutuhannya.
Demikian pula strategi pengalaman konsumen yang harus melibatkan perencanaan dan pelaksanaan inisiatif. Hal ini meliputi komunikasi yang dipersonalisasi, prosedur yang disederhanakan, sistem yang user-friendly, dan penyelesaian masalah yang efektif.
“Zoom menawarkan integrasi pengalaman konsumen dan pengalaman karyawan yang komprehensif secara baik,” kata Jayraj. Pengalaman yang terpadu ini memanfaatkan kemampuan end-to-end platform Zoom yang dapat diakses konsumen kapanpun dan di mana pun hanya dengan melalui cloud.
Jayraj menambahkan, bahwa dengan demikian, perusahaan dapat fokus pada karyawan dan konsumen mereka. “Oleh karena itu, kini diperkenalkan Zoom Contact Centre yang dapat mendorong loyalitas dan retensi melalui interaksi konsumen yang cepat dan personal,” Jayraj menyimpulkan.
Sesi User-Insight
Perkembangan teknologi dan digitalisasi telah mengubah cara manusia berinteraksi, berkomunikasi, dan mengakses informasi di masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan pesat dalam penggunaan teknologi, termasuk internet, smartphone, dan platform media sosial.
Dengan adanya transformasi ini, banyak sektor publik mulai mengadopsi inovasi teknologi untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan partisipasi publik. Contohnya, pelayanan transportasi publik yang dilakukan Blue BirdBlue Bird yang kini sudah mencakup berbagai kanal.
Blue Bird adalah salah satu perusahaan transportasi terkemuka di Indonesia. Perusahaan ini dikenal sebagai penyedia layanan taksi dan transportasi umum yang beroperasi di berbagai kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Bali.
Blue Bird didirikan pada tahun 1972 dan telah menjadi salah satu ikon transportasi publik di Indonesia. Mereka menyediakan layanan taksi dengan armada yang terkenal dengan warna biru khasnya. Blue Bird juga telah mengembangkan variasi layanan yang meliputi taksi eksekutif (Silver Bird), taksi limosin (Golden Bird), taksi online (GoBluebird), dan layanan transportasi dengan aplikasi (Blue Bird Mobility Service). Selain itu, Blue Bird juga memiliki layanan taksi internasional dan telah menjalin kerjasama dengan perusahaan taksi di beberapa negara, termasuk Singapura, Malaysia, dan Filipina.
Pada kasus Blue Bird, untuk reservasi misalnya, kebanyakan konsumen layanan taxi tersebut lebih mengandalkan WhatsApp, mobile phone, Instagram, dan Twitter. Ini mengartikan bahwa konsumen mereka lebih memilih kanal online untuk menjangkau Blue Bird. Dengan adanya kemudahan multikanal yang dilakukan Blue Bird, hal ini memungkinkan masyarakat untuk mengakses layanan dengan lebih mudah dan cepat, serta mengurangi birokrasi yang berbelit.

Dalam pengimplementasian seperti pemesanan taxi tersebut, Blue Bird mengandalkan 3 pihak, di antaranya konsumen, customer service representative, dan pengemudi.
Namun, perubahan ini juga menimbulkan tantangan dan risiko baru. Salah satunya adalah isu privasi dan keamanan data. Dalam era digital, banyak informasi pribadi yang dikumpulkan dan digunakan oleh perusahaan dan pemerintah untuk berbagai tujuan. Oleh karena itu, diperlukan perhatian yang serius dalam melindungi privasi individu dan mengelola data dengan aman.
Oleh karena itu, untuk membuka multikanal yang lebih inklusif dan meningkatkan pelayanan konsumen yang lebih maksimal, Andoko akan memfokuskan Blue Bird untuk mengambil 6 langkah ke depannya.
Langkah pertama yaitu riwayat interaksi konsumen yang terintegrasi. Dalam konteks ini mengacu pada pengumpulan dan penyimpanan informasi mengenai semua interaksi dan transaksi yang terjadi antara perusahaan dan pelanggan. Ini mencakup catatan mengenai kontak telepon, pesan teks, email, percakapan media sosial, interaksi langsung, pembelian, keluhan, dan layanan pelanggan lainnya.
Dengan memiliki riwayat interaksi pelanggan terintegrasi, perusahaan dapat memantau dan melacak sejarah komunikasi dan hubungan dengan pelanggan secara komprehensif. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk memberikan layanan yang lebih personal, responsif, dan efektif kepada pelanggan mereka. Selain itu, riwayat interaksi pelanggan yang terintegrasi juga dapat memberikan wawasan berharga dalam memahami kebutuhan, preferensi, dan perilaku pelanggan untuk meningkatkan strategi pemasaran dan kepuasan pelanggan secara keseluruhan.
Kedua, Blue Bird berfokus pada sistem biaya yang efektif. Hal ini mengacu pada sistem yang dirancang untuk memastikan ketersediaan produk atau layanan dengan cara yang paling efisien dan hemat biaya. Sistem ini biasanya melibatkan pengaturan yang tepat dalam mengelola ketersediaan, logistik, distribusi, dan manajemen produksi.
Ketiga, mobilitas representasi konsumen (customer representative). Hal ini melibatkan konsep memiliki representasi konsumen yang lincah dan dapat berinteraksi dengan konsumen untuk menangani kebutuhan mereka melalui berbagai saluran.
Di era digital saat ini, mobilitas representasi konsumen menjadi semakin penting karena konsumen mengharapkan interaksi yang nyaman melalui berbagai saluran komunikasi. Representasi konsumen dapat berpindah antarsaluran seperti telepon, email, media sosial, atau bahkan bertatap muka secara langsung untuk memberikan bantuan dan solusi kepada konsumen secara interakitif. Dengan memiliki mobilitas, representasi konsumen dapat merespons cepat terhadap permintaan konsumen, sehingga dapat memberikan pengalaman layanan yang lebih efisien dan memuaskan.
Keempat, komunikasi yang dapat diandalkan. Komunikasi yang dapat diandalkan memastikan bahwa pesan yang disampaikan atau diterima oleh konsumen memiliki kejelasan melalui integritas yang tinggi.
Komunikasi yang dapat diandalkan melibatkan penggunaan profesionalitas dalam berkomunikasi, seperti telepon, surat, email, atau obrolan langsung. Selain itu, penting untuk menghindari kesalahpahaman dalam berkomunikasi serta menjaga kerahasiaan dan keamanan informasi.
Kelima, privasi data. Hal ini menjadi semakin penting dengan berkembangnya teknologi dan pengumpulan data yang semakin luas. Privasi data melibatkan kebijakan, praktik, dan langkah-langkah yang dirancang untuk melindungi informasi pribadi individu dari pihak yang tidak bertanggung jawab.
Keenam, pengalaman pelanggan berbasis AI. Melalui penggunaan AI, perusahaan dapat mengumpulkan, menganalisis, dan memanfaatkan data pelanggan dengan lebih efisien. AI dapat digunakan untuk mengenali pola perilaku pelanggan, menganalisis preferensi mereka, dan memberikan rekomendasi yang disesuaikan. Selain itu, AI juga dapat digunakan untuk meningkatkan interaksi dengan pelanggan melalui chatbot atau virtual assistant yang dapat merespons pertanyaan, memberikan informasi, atau menyelesaikan masalah pelanggan secara otomatis.
Lebih jauh, dalam peningkatan pelayanan konsumen, Blue Bird juga akan lebih berorientasi menjadi consumer-centrist, di mana pelayananan konsumen dibuat sedemikian rupa untuk lebih relevan dengan kebutuhan konsumen.
Andoko menambahkan, dalam menghadapi transformasi publik yang begitu drastis ini, kolaborasi antara sektor publik, swasta, dan masyarakat menjadi sangat penting. Hanya melalui kerja sama yang baik dan pemahaman yang mendalam tentang dampak teknologi, perusahaan dapat memastikan bahwa transformasi publik memberikan manfaat yang positif bagi semua pihak. Andoko yakin bahwa dengan memanfaatkan teknologi, kota dapat menjadi lebih efisien, berkelanjutan, dan nyaman bagi warganya.
Salam Penutup
Jayraj menyatakan bahwa mengidentifikasi tantangan adalah hal penting bagi industri agar tetap kompetitif dan berkembang di lanskap bisnis yang terus berubah dengan cepat. Tantangan-tantangan ini dapat bervariasi tergantung pada industri masing-masing, seperti disrupsi teknologi, perubahan ekspektasi konsumen, kompetisi bisnis, perubahan regulasi, dan ketidakpastian ekonomi.
Setelah mengidentifikasi tantangan-tantangan tersebut, perusahaan dapat merancang strategi yang tepat untuk menghadapinya secara langsung. Strategi-strategi ini dapat melibatkan kombinasi inovasi, kegesitan, kolaborasi, dan pendekatan yang berorientasi pada konsumen.
Ia mengakui bahwa semua peserta yang hadir dalam acara ini telah memberikan wawasan berharga tentang tantangan signifikan yang dihadapi oleh berbagai industri. Melalui elaborasi ini, hal ini dapat memberikan pemahaman terhadap industri terkait dalam mengatasi tantangan tersebut.
“Memahami tantangan terbesar yang dihadapi oleh industri dan mengembangkan strategi yang tepat untuk menghadapinya adalah hal penting bagi perusahaan untuk keberhasilan jangka panjang,” jelasnya.
Jayraj menambahkan bahwa dengan merangkul inovasi, kegesitan, kolaborasi, dan pendekatan yang berorientasi pada konsumen, industri dapat menghadapi tantangan, mengambil peluang, dan mengembangkan di tengah perubahan yang cepat.
Dalam sesi yang sama, Mohit juga menambahkan bahwa melakukan kolaborasi penting untuk dilakukan untuk mengatasi tantangan industri. Dengan membangun kemitraan dan kerjasama dengan organisasi dan perusahaan lain, industri dapat mengolaborasikan dan memaksimalkan sumber daya, keahlian, dan pengetahuan untuk mengatasi tantangan dengan lebih efektif secara bersama-sama.
Ia menjelaskan bahwa pendekatan yang berorientasi pada konsumen sangat penting dalam menghadapi tantangan industri dengan sukses. Dengan memahami dan memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen yang terus berkembang, industri dapat menciptakan produk, layanan, dan pengalaman mereka untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
“Perusahaan dapat menganalisis hasil data pelanggan, sehingga dapat menciptakan penawaran produk yang personal guna meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan,” simpul Mohit.
- Like
- Digg
- Del
- Tumblr
- VKontakte
- Buffer
- Love This
- Odnoklassniki
- Meneame
- Blogger
- Amazon
- Yahoo Mail
- Gmail
- AOL
- Newsvine
- HackerNews
- Evernote
- MySpace
- Mail.ru
- Viadeo
- Line
- Comments
- Yummly
- SMS
- Viber
- Telegram
- Subscribe
- Skype
- Facebook Messenger
- Kakao
- LiveJournal
- Yammer
- Edgar
- Fintel
- Mix
- Instapaper
- Copy Link
China Construction Bank (CCB) was recently commended by Deputy Prime Minister Heng Swee Keat for reaching an important milestone in Singapore, which is evidence of the long-lasting collaboration that has developed between the two countries over the past 25 years.
The CCB is one of China’s four largest state-owned banks and is actively expanding its business abroad, with branch offices in Hong Kong, Macau, and Singapore, among other places.
In 1998, when CCB made the bold decision to establish a presence in Singapore, the Asian economies were emerging from the depths of the Asian Financial Crisis. CCB’s move to set up shop in Singapore was a bold show of faith in the future of Asia and a belief that the region was poised for a resilient comeback.
Over the years, CCB has deepened its roots in Singapore, forming vital partnerships and emerging as one of CCB’s largest overseas nodes. DPM Heng Swee Keat, who once led the Monetary Authority of Singapore (MAS), recalls productive meetings with CCB’s leadership regarding their expansion plans in the region.
This partnership led to significant milestones, including MAS upgrading CCB’s Singapore branch to a wholesale bank in 2010 and subsequently to a Qualifying Full Bank (QFB) in 2020.
The timing of this expansion is crucial, as it enables CCB to support Chinese companies looking to explore new opportunities while also contributing to the internationalisation of the renminbi.
Simultaneously, it provides invaluable support to Singaporean companies with aspirations in the Chinese market. Singapore’s status as an international financial centre ensures a plethora of growth opportunities for both CCB and Singapore.
Financial cooperation has been a cornerstone of the enduring relationship between Singapore and China. Recent upgrades in their partnership have expanded the scope of activities, going beyond traditional corporate and commercial lending to include green financing solutions, offshore debt raising, and even FinTech and innovation research in Singapore.
Regulators from both nations have joined hands to explore emerging areas like sustainable and digital finance, aiming to strengthen cross-border collaboration and deepen capital market connectivity within the region.
This is due to the rise of digital technology which has transformed the financial landscape, leading to the emergence of digital finance. This encompasses a wide range of innovations, including mobile banking, digital payments, blockchain technology, and digital currencies.
By exploring digital finance, Singapore and China are not only embracing financial technology (FinTech) but also revolutionising the way financial services are accessed and delivered. This shift has the potential to enhance financial inclusion, streamline transactions, and increase the efficiency of capital markets. Also, it opens doors to cross-border collaboration in developing and adopting cutting-edge FinTech solutions.
By strengthening capital market connectivity, these nations are not only boosting their own financial sectors but also attracting foreign investments, promoting regional economic stability, and potentially positioning themselves as hubs for sustainable and digital finance in Asia.
Innovations in digital finance and technology have revolutionised access to banking services and improved efficiency. CCB’s Fintech innovation lab in Singapore offers a platform for research, technology sharing, and the forging of new partnerships. These innovations are poised to enhance resource allocation, promoting real growth and job creation.
The collaboration between Singapore and China in these emerging areas is a strategic move to shape the financial landscape of the future, where sustainability, innovation, and cross-border cooperation will be key drivers of success.
- Like
- Digg
- Del
- Tumblr
- VKontakte
- Buffer
- Love This
- Odnoklassniki
- Meneame
- Blogger
- Amazon
- Yahoo Mail
- Gmail
- AOL
- Newsvine
- HackerNews
- Evernote
- MySpace
- Mail.ru
- Viadeo
- Line
- Comments
- Yummly
- SMS
- Viber
- Telegram
- Subscribe
- Skype
- Facebook Messenger
- Kakao
- LiveJournal
- Yammer
- Edgar
- Fintel
- Mix
- Instapaper
- Copy Link
The Minister for Finance, Minister for Women, and Minister for the Public Service of Australia provided updates on technology and digital identity-related legislation. The Minister delved into the topic of Digital ID and its significance for Australia’s future.
The primary focus of the address was the introduction of the draft Digital ID legislation, marking the commencement of consultations for the exposure draft. She highlighted that Digital ID is akin to an online version of presenting one’s passport or driver’s license to verify their identity but without relinquishing the physical document. It aims to provide a secure and convenient way to verify identity online.
The draft Digital ID legislation, now open for consultation, represents a significant milestone in Australia’s efforts to create a national Digital ID system. The Minister outlined four guiding principles for this system: security, convenience, voluntariness, and inclusivity. She stressed that Digital ID would remain voluntary, ensuring alternate channels for those who prefer not to use it.
Moreover, Digital ID is seen as a means to enhance inclusion by bringing government services online and extending their accessibility to underserved communities, including individuals with disabilities. However, the Minister emphasised that those unable or unwilling to obtain a Digital ID would still have access to government services through traditional channels.
The current system, which operates without legislation, allows individuals with Digital IDs to verify their identity without repeatedly providing sensitive documents. Nevertheless, it has limitations, as it is not yet a nationwide system and private sector providers cannot verify individuals against government-issued ID documents. The government envisions a national Digital ID system as an important economic, productivity, and security reform, and efforts are underway to address these shortcomings.
To ensure trust, data protection, and choice in the Digital ID system, the draft legislation establishes governance arrangements, a regulator (with the ACCC as the interim regulator), and privacy safeguards. Senator Gallagher emphasised the need for explicit consent for sharing identity information, the secure deletion of biometric data, and the prohibition of using identity data for direct marketing purposes.
Additionally, the Minster announced the formation of an AI taskforce, in collaboration with colleague Ed Husic, to ensure responsible and safe usage of AI across government agencies. AI has the potential to improve productivity within the APS and enhance government services, but it also requires careful management to mitigate risks.
The government is committed to creating boundaries and safeguards for emerging technologies like AI. The AI Taskforce will assess the risks and benefits of different AI systems within the public service.
The upcoming release of the first Long Term Insights Brief on AI and trust in public service delivery was also mentioned. Four key findings from the brief highlighted the importance of designing AI with integrity, preserving empathy in service design, enhancing public service performance, and investing in AI literacy and digital connectivity for all Australians.
The Minister expressed her determination to see the establishment of an Australian Digital ID system through legislation, despite the challenges and opposition. She acknowledged that it has been an eight-year work in progress, but she believes it is a worthy project with significant benefits for individuals, businesses, and the economy as a whole.
The address highlighted the importance of Digital ID legislation and AI governance in shaping Australia’s technological future. These initiatives aim to enhance security, convenience, and inclusivity while safeguarding individuals’ privacy and ensuring responsible AI usage within the public service.
Efforts to advance digital identification in Australia align with the country’s broader initiatives to establish a national Digital ID system, as discussed by the Minster. The focus of one pilot program, reported on by OpenGov Asia earlier, was on enabling individuals to prove their identity without the need for multiple physical documents corresponds to the principles of Digital ID outlined by the Minister, emphasising secure digital verification over physical information exchange.
Additionally, student volunteers from Deakin University demonstrated practical applications of digital identity within the education sector, mirroring the efficiencies mentioned by Senator Gallagher in her speech. These developments reflect Australia’s growing interest and innovation in the digital identification ecosystem.
- Like
- Digg
- Del
- Tumblr
- VKontakte
- Buffer
- Love This
- Odnoklassniki
- Meneame
- Blogger
- Amazon
- Yahoo Mail
- Gmail
- AOL
- Newsvine
- HackerNews
- Evernote
- MySpace
- Mail.ru
- Viadeo
- Line
- Comments
- Yummly
- SMS
- Viber
- Telegram
- Subscribe
- Skype
- Facebook Messenger
- Kakao
- LiveJournal
- Yammer
- Edgar
- Fintel
- Mix
- Instapaper
- Copy Link
Vietnam, Laos, and Cambodia will cooperate in the digital economy. Experts have said that the substantial potential for trade and investment collaboration among the countries has not yet been fully realised.
The three governments jointly organised a conference to discuss digital economic development trends and their potential to enhance trade and investment among the countries, opportunities and challenges arising from digital transformation for the growth of trilateral ties, and strategies to advance their cooperative efforts in the digital era. The conference reflects the countries’ readiness to build digital-transformation-oriented socio-economic infrastructure.
Experts at the event recommended that the sides establish and improve institutional and legal environments that align with the demands of the international integration era within the context of the digital economy. Additionally, the nations should invest in developing digital infrastructure to foster their national digital economies.
The conference, which was organised by the Vietnam Academy of Social Sciences (VASS), Lao Academy of Social and Economic Sciences (LASES), and Royal Academy of Cambodia (RAC), saw the participation of over 100 experts, managers, and diplomats from the three countries.
According to a representative from VASS, prioritising the advancement of the digital economy is considered a key task in accelerating the restructuring of an economy. This approach is closely linked with innovation in the growth model and the enhancement of growth quality. The aim is to assist a nation in escaping the middle-income trap and progressing toward becoming a fully developed, industrialised country. The trend presents both opportunities and challenges for countries involved, as they work to develop and expand their investment and commercial partnerships.
An official from LASES noted that Laos is in the early stages of its digital transformation journey, encompassing multiple sectors, including commerce and investment. Consequently, Laos is eager to collaborate with experts from Vietnam and Cambodia, aiming to exchange knowledge and gain insight from their respective digital transformation efforts.
Highlighting the longstanding bond among the three nations, an official from RAC acknowledged that in the realm of digital transformation, Vietnam has been making swifter advancements compared to Cambodia and Laos, particularly in sectors like tourism, commerce, and investment. Collaborative efforts among these nations, particularly in the domain of the digital economy, hold considerable importance in advancing the development of each country.
In 2020, Vietnam kicked off a national digital transformation programme, under which the country would renovate the management and administration activities of the government, the production and business activities of enterprises, and the overall way of living and working. It is working to develop a safe, humane, and wide digital environment. The national digital transformation programme has the dual purpose of both developing the digital government and economy and establishing Vietnamese digital businesses with a global capacity.
In the second quarter of 2023, the digital economy contributed approximately 15.26% to the total Gross Domestic Product (GDP) of Vietnam. Compared to 2021, the growth of Vietnam’s national digital transformation index did slow down, but the component indices of digital government, digital economy, and digital society still maintained a high growth rate of 45-55%.
Vietnam’s digital economy was valued at around $14 billion in 2020, showing remarkable growth of 450% since 2015. Projections indicate that it is expected to expand by roughly 30% between 2020 and 2025.
- Like
- Digg
- Del
- Tumblr
- VKontakte
- Buffer
- Love This
- Odnoklassniki
- Meneame
- Blogger
- Amazon
- Yahoo Mail
- Gmail
- AOL
- Newsvine
- HackerNews
- Evernote
- MySpace
- Mail.ru
- Viadeo
- Line
- Comments
- Yummly
- SMS
- Viber
- Telegram
- Subscribe
- Skype
- Facebook Messenger
- Kakao
- LiveJournal
- Yammer
- Edgar
- Fintel
- Mix
- Instapaper
- Copy Link
Minister of PANRB Abdullah Azwar Anas stated that in 2023, the diplomatic relations between the Republic of Indonesia and Korea will reach its 50th year. Both countries continuously work to enhance their relations and cooperation, both bilaterally, regionally, and multilaterally.
In light of this, the governments of Indonesia and Korea are continuing their cooperation in Electronic Government Systems (EGS) through the Digital Government Cooperation Forum. This event, organised through the collaboration of the Ministry of Administrative and Bureaucratic Reform (PANRB), the Ministry of the Interior and Safety (MoIS), and the National Information Society Agency (NIA), discusses the implementation of cooperation in 2023 and the cooperation project plans for 2024.
“The closeness of this relationship and cooperation is certainly supported by the complementary nature of resources and advantages possessed by Indonesia and Korea, in addition to the excellent economic and political progress, making opportunities for cooperation in various sectors increasingly wide open,” said Minister PANRB Abdullah Azwar Anas.
In 2023, the governments of Indonesia and Korea embarked on a cooperation project related to digital ID development strategies and poverty alleviation digitalisation strategies. As for the extension of the DGCC cooperation project in 2024, there are several project proposals from the DGCC Committee, including support for government efforts in digitalising Nusantara City into a smart city focusing on intelligent government aspects.
“These cooperation proposals include the use of Big Data and AI for government administrative services, open-source technology-based designs, and big data designs in service provision,” explained Anas.
In his opinion, strengthening the strategic partnership between Korea and Indonesia for a shared future, especially in digital transformation, is not just an aspiration but a necessity. Indonesia’s digital transformation is already on the right track, where digital transformation serves as an accelerator for development acceleration.
Strengthening partnerships with Korea, one of the global technology industry leaders can bring Indonesia significant benefits. Korea has extensive experience and expertise in digital transformation and cutting-edge technologies such as artificial intelligence, the Internet of Things, and 5G. Through knowledge sharing and close collaboration, Indonesia can accelerate the implementation of these technologies to support various sectors, including industry, education, healthcare, and public services.
Furthermore, strengthening this partnership can also open doors for investments in Indonesia’s technology ecosystem. With financial and technical support from Korea, Indonesian startups and technology companies can further develop their innovations and compete in the global market. This will create new job opportunities, drive economic growth, and strengthen Indonesia’s position in an increasingly interconnected international community.
“Interoperability of systems and applications continues to be pursued to realise integrated services nationally. However, we continue to strive and learn best practices from various countries, especially Korea, to strengthen digital transformation breakthroughs in Indonesia,” he said.
NIA President Jong Sung Hwang stated that in the future, his agency will actively assist Indonesia in digital governance, similar to what they did by establishing NIA in 1987 to support the digitalisation of the South Korean government. “The South Korean government used to have 17,060 silo systems, but they managed to integrate them all into an all-in-one service,” explained Jong Sung Hwang.
Jong Sung Hwang added that in the era of digital governance, everything should run smoothly, and data should be easily accessible. “Usually, data preparation takes a lot of time, but with data infrastructure, it can be done more quickly and data is easier to use,” he added.
In an era where technology defines many aspects of daily life, strengthening a strategic partnership with Korea in digital transformation is not just an option but a necessity. This step will help Indonesia address challenges and seize opportunities from the global digital revolution. With strong cooperation between the two countries, Indonesia can achieve a brighter and more sustainable future in the digital era.
- Like
- Digg
- Del
- Tumblr
- VKontakte
- Buffer
- Love This
- Odnoklassniki
- Meneame
- Blogger
- Amazon
- Yahoo Mail
- Gmail
- AOL
- Newsvine
- HackerNews
- Evernote
- MySpace
- Mail.ru
- Viadeo
- Line
- Comments
- Yummly
- SMS
- Viber
- Telegram
- Subscribe
- Skype
- Facebook Messenger
- Kakao
- LiveJournal
- Yammer
- Edgar
- Fintel
- Mix
- Instapaper
- Copy Link
In a resolute move to drive technological innovation and secure a prominent position on the global stage, China significantly bolstered its investment in research and development (R&D) in 2022. The National Bureau of Statistics (NBS) revealed that the country allocated an impressive 3.08 trillion yuan (S$422.1 billion) to R&D, marking a 10.1% year-on-year increase.
This surge in R&D funding underscores China’s unwavering dedication to advancing basic research and achieving breakthroughs in critical technologies.
The amplified R&D investment not only fuels technological innovation within Chinese enterprises but also enhances their core competitiveness on the international front. Experts believe that this substantial investment will inject a potent dose of momentum into China’s ongoing economic recovery.
The surge in R&D investment reflects China’s resolute implementation of an innovation-driven development strategy, positioning the nation as a science and technology powerhouse. This strategy equips China with a competitive edge in the fierce international arena, driving the creation of new growth engines.
Pan Helin, co-director of the Digital Economy and Financial Innovation Research Centre at Zhejiang University’s International Business School, underscores the pivotal role of continuous investment in basic scientific research.
He highlights its significance in fostering high-quality economic growth and promoting the intelligent transformation and upgrading of traditional industries. Pan calls for harnessing the leading role of enterprises in driving technological innovation, thereby ensuring sustainable progress.
Enterprises in China are indeed heeding this call, expanding their investments in vital sectors and laying a robust foundation for pioneering core technologies in key domains. The NBS highlighted the government’s commitment to providing continued financial support and encouraging local authorities to amplify their R&D investments while optimising the efficiency of capital utilisation.
China’s prowess in science and technology innovation has undergone a remarkable transformation in recent years. The 2022 Global Innovation Index, released by the World Intellectual Property Organisation, positioned China at the 11th spot globally, making it the only middle-income economy within the top 30.
Further, Luo Zhongwei, a researcher at the Chinese Academy of Social Sciences’ Institute of Industrial Economics advocates intensifying investments in cutting-edge and forward-looking fields, including quantum information, artificial intelligence (AI), biological sciences, new energy, and new materials.
According to him, these investments are essential to achieve breakthroughs in key domains through independent innovation, particularly as protectionism continues to rise in some countries.
China’s intensified investments in cutting-edge fields like quantum information and AI confer a multitude of advantages. This commitment propels China to a position of technological leadership on the global stage. By allocating substantial resources to these transformative technologies, China not only sets industry standards but also influences international trends and fosters innovation.
Besides, these investments fuel economic growth by catalysing the development of new industries and markets. Quantum information and AI have the potential to spawn high-tech startups, generate employment opportunities, and stimulate economic prosperity.
As China excels in these domains, it enhances its global competitiveness, exporting technological advancements, products, and expertise while strengthening its standing in international trade and diplomacy.
Also, this strategic move ensures China’s national security and technological sovereignty. Quantum information and AI play pivotal roles in safeguarding against cybersecurity threats and advancing military capabilities.
Likewise, these investments reduce China’s reliance on foreign technology, allowing greater control over critical infrastructure and ensuring resilience against external disruptions. Overall, China’s intensified focus on these advanced fields promises not only technological leadership but also economic growth, national security, and global influence.
- Like
- Digg
- Del
- Tumblr
- VKontakte
- Buffer
- Love This
- Odnoklassniki
- Meneame
- Blogger
- Amazon
- Yahoo Mail
- Gmail
- AOL
- Newsvine
- HackerNews
- Evernote
- MySpace
- Mail.ru
- Viadeo
- Line
- Comments
- Yummly
- SMS
- Viber
- Telegram
- Subscribe
- Skype
- Facebook Messenger
- Kakao
- LiveJournal
- Yammer
- Edgar
- Fintel
- Mix
- Instapaper
- Copy Link
The Hong Kong Science and Technology Parks Corporation (HKSTP) spearheaded an initiative aimed at promoting innovation and technology in the biotech sector, showcasing Hong Kong’s pioneering advancements and entrepreneurial spirit.
This initiative was part of the “Think Business, Think Hong Kong” event organised by the Hong Kong Trade Development Council (HKTDC) in Paris recently. The event was a platform to underscore the potential for cross-border collaboration between Hong Kong and France in the field of biotechnology and innovation.
The CEO of HKSTP emphasised the critical purpose behind this endeavour. He pointed out the immense potential for synergy and cooperation between Hong Kong and French biotech ecosystems, highlighting their role in propelling startups and pharmaceutical companies to global prominence.
The journey of biotech innovation is long and arduous, and comprehensive support is essential. This initiative aimed to highlight Hong Kong’s ability to nurture and support biotech innovators throughout their growth trajectory and establish the city as a global hub for innovation and technology.
At its core, this initiative sought to underscore Hong Kong’s strengths in driving innovation to global success. It aimed to showcase the city’s unique ecosystem that fosters innovation and technology, making it a prime destination for biotech entrepreneurs. Moreover, it underlined the immense market potential in Asia as a growth engine for the global biotech industry.
The thematic session organised by HKSTP and the accompanying pavilion, titled “Unlocking Asia’s Opportunities in Healthcare Innovation,” was central to this initiative. These components received a warm reception from the French biotech and pharmaceutical industry.
Four distinguished biotech experts from Hong Kong-based ventures were featured, collectively illustrating Hong Kong’s capacity to lead in global innovation and technology. They highlighted the city’s potential as a gateway to the Asian market, positioning it as a central hub for biotech growth and development.
To further accentuate the significance of this initiative, a special gala dinner was convened, attended by influential leaders from the French, European, and Hong Kong business communities. Key dignitaries including the President of the Ile de France Region, the Financial Secretary of the HKSAR Government, and the Chairman of HKTDC were present. This gathering aimed to foster meaningful connections and collaborations that would propel innovation and technology in the biotech sector forward.
HKSTP’s initiative was not just about an event; it was about catalysing collaboration and innovation in the biotech sector. It sought to highlight Hong Kong’s unique strengths as a global player in biotech innovation and technology. By bringing together experts, entrepreneurs, and industry leaders, this initiative aimed to pave the way for groundbreaking advancements in biotech, positioning Hong Kong as a prominent player in the international innovation and technology landscape.
OpenGov Asia previously reported that the Government Chief Information Officer of Hong Kong led a delegation from the city’s innovation and technology (I&T) sector to the 25th China International Software Expo (CISE). The mission aimed to strengthen collaboration and explore business opportunities in the technology sector.
The Hong Kong Pavilion at CISE showcased more than 20 innovative I&T products and solutions sourced from esteemed competitions like the Hong Kong ICT Awards and the “Maker in China” SME Innovation and Entrepreneurship Global Contest. These exhibits covered cutting-edge domains such as artificial intelligence, virtual reality, cloud computing, and biotechnology.
These innovations spanned sectors like fintech, smart construction site management, and digital entertainment, demonstrating the integration of digital technology into the tangible economy. To engage potential buyers and partners, the Hong Kong Pavilion featured a mini-stage for exhibitors to present their products and services.
This delegation’s participation in CISE emphasised Hong Kong’s technological capabilities and commitment to international collaboration. It aligned with Hong Kong’s goal of becoming a global hub for technological innovation in a rapidly evolving I&T landscape.
- Like
- Digg
- Del
- Tumblr
- VKontakte
- Buffer
- Love This
- Odnoklassniki
- Meneame
- Blogger
- Amazon
- Yahoo Mail
- Gmail
- AOL
- Newsvine
- HackerNews
- Evernote
- MySpace
- Mail.ru
- Viadeo
- Line
- Comments
- Yummly
- SMS
- Viber
- Telegram
- Subscribe
- Skype
- Facebook Messenger
- Kakao
- LiveJournal
- Yammer
- Edgar
- Fintel
- Mix
- Instapaper
- Copy Link
The Union Cabinet has approved the signing of three separate memoranda of understanding (MoUs) from earlier this year between India and Sierra Leone, Antigua & Barbuda, and Armenia. These MoUs will facilitate cooperation in the realm of exchanging successful digital solutions that have been deployed at a national level to boost digital transformation initiatives.
Under the memoranda of understanding, the countries will share experiences and digital technology-driven solutions, such as India Stack, in the execution of digital transformation projects. It is expected that the MoUs will result in more employment opportunities in the information technology sector.
India Stack is a collection of indigenously developed APIs and digital public assets that strive to enable the widespread utilisation of digital identity, data, and payments as fundamental economic elements. India Stack includes apps like Unified Payments Interface (India’s instant payments system), Aadhaar (the government’s digital identity card), and DigiLocker (a secure document access platform on a public cloud).
Both government-to-government (G2G) and business-to-business (B2B) cooperation in the realm of DPI will be strengthened through the MoUs. The endeavours outlined in the agreements will be funded using the regular operating allocations of their respective administrations. The MoUs shall remain in force for three years.
The MoUs were signed between the Indian Ministry of Electronics and Information Technology (MeitY) and the Ministry of Information and Communications of the Republic of Sierra Leone, the Ministry of Information, Communications Technologies, Utilities and Energy of the Antigua & Barbuda, and the Armenian Ministry of High-Tech Industry.
MeitY is actively working with multiple countries and international organisations to promote both bilateral and multilateral cooperation in the field of ICT. Over time, MeitY has established MoUs, memoranda of cooperation (MoCs), and agreements with counterpart organisations and agencies from various countries. These arrangements serve as vehicles for fostering cooperation and facilitating the exchange of information within the ICT domain.
The MoUs were originally put forth at a meeting of the G20 Digital Economy Working Group (DEWG). The event served as a global platform for discussions on both foundational and sector-specific DPIs. It featured experience zones that highlighted the various DPIs that have been successfully implemented, including digital identities, fast payments, open networks for digital commerce, language translation technology, online learning solutions, and telemedical consultations.
The agreements align with the several initiatives undertaken by the government, including Digital India, Atmanirbhar Bharat (Self-Reliant India), and Make in India, among others, aimed at advancing the nation towards a digitally empowered society and a knowledge-based economy. Given the evolving landscape, there is a need to explore business opportunities, exchange best practices, and attract investments within the digital sector.
According to the government, over the last few years, India has showcased its leadership in the deployment of Digital Public Infrastructure (DPI) and has effectively delivered public services, even amidst the challenges posed by the COVID-19 pandemic. Consequently, many countries have expressed an interest in learning from India’s experiences.
India Stack Solutions are Digital Public Infrastructure (DPI) created and implemented by India on a national scale. This infrastructure facilitates access to and the delivery of public services. It aims to universalise connectivity, foster digital inclusion, and ensure effortless access to public services.
These solutions are built on open technologies, are interoperable and are designed to encourage active involvement from both industry and community stakeholders, fostering innovation. However, each country has unique needs and challenges in building DPI, although the basic functionality is similar, allowing for global cooperation.